Menciptakan Oasis di Lahan Gersang


Ini adalah sebuah cita-cita dan mimpi. Sebenarnya suatu hal yang sederhana namun saya percaya akan mengubah banyak hal negatif menjadi positif. 

Siapa tak mengenal Bali? Bali kian menjadi magnet yang tidak henti-hentinya menarik orang-orang untuk datang. Tidak hanya untuk sekali kunjungan, namun berkali-kali hingga berniat menetap di tanah kelahiran saya ini. Berbagai julukan diberikan kepada pulau ini yang tidak akan saya sebutkan lagi apa saja itu. Banyak faktor yang menyebabkan orang-orang dari seluruh dunia ingin datang ke bali. Berbagai kepentingan pula yang dimiliki untuk datang ke pulau yang berada di Indonesia bagian tengah ini. Belakangan ini, even-even internasional diselenggarakan di Bali. Infrastruktur mulai dibenahi, mulai dari jalan-jalan utama hingga bandara yang merupakan pintu gerbang masuknya berbagai orang dari berbagai belahan bumi. Tingkat keamanan pun diperketat baik melalui jalur darat, laut dan udara. 

Saat ini, di Bali sedang 'panas' nya topik reklamasi teluk Benoa menjadi suatu lahan potensial dan komersial, dengan tujuan mengundang investor datang untuk membangun infrastruktur seperti taman hiburan, resort atau sirkuit F1. Tetapi di blog saya ini, saya tidak akan menyampaikan hal tersebut karena sudah banyak ahli-ahli dan rekan-rekan saya yang lebih tahu dan berpengalaman dalam memaparkan pendapat mereka mengenai masalah ini. 

Saya ingin menyampaikan sebuah mimpi dan cita-cita saya tentang mengubah kebiasaan adik-adik kita mulai dari taman kanak-kanak sampai orang tua. Alasan saya menulis ini ada tiga hal. Pertama, saya prihatin dengan keadaan adik-adik dan rekan-rekan di bali yang memiliki kegemaran membaca untuk menemukan sebuah perpustakaan umum yang 'layak' untuk menyalurkan hobi mereka, karena tidak semua dari mereka mampu untuk membeli buku-buku. Kedua, saya perihatin terhadap tindakan orang tua yang memberikan fasilitas anak-anak mereka untuk memiliki handphone, tablet dan internet tanpa memikirkan apakah adik-adik kita tersebut sudah perlu atau belum. Terkait dengan hal ini, banyak beberapa teman-teman dan teman orang tua saya yang masih 'saklek' kepada anak-anak nya untuk tidak memberikan handphone, tablet dan sebagainya, mengeluh karena sebagian besar anak-anak di sekolah dasar, bahkan taman kanak-kanak membawa handphone yang tergolong sangat canggih saat ini ke sekolah. Otomatis anak-anak yang tidak diberikan fasilitas ini oleh orang tuanya akan mengadu dan minta dibelikan agar tidak ketinggalan dengan teman-temannya. Ada lagi teman saya yang berprofesi sebagai guru SMP, sempat memergoki muridnya 'selfie' di kelas pada saat ia sedang menerangkan pelajaran. Sehingga mulai saat itu hingga sekarang, teman saya ini dengan tegas meminta murid-muridnya untuk mengumpulkan hp yang mereka bawa di sebuah keranjang sebelum pelajaran berlangsung. 

Hal yang ketiga yang menjadi alasan saya untuk menulis adalah keluhan-keluhan saya tentang pelayanan perpustakaan yang pernah saya alami dan inspirasi saya dari perpustakaan umum yang pernah saya kunjungi selama di Jakarta (tulisan saya sebelumnya: Freedom Library. Bali sesungguhnya memiliki perpustakaan umum yang kini letaknya di sebelah SMPN 1 Denpasar (bekas kantor catatan sipil). Seumur-umur tinggal di Bali, terus terang saya baru sekali mengunjungi perpustakaan umum, saat masih berlokasi di Jl. Teuku Umar, Denpasar. Saat itu saya masih SMA dan diajak teman untuk menemaninya mencari buku-buku bacaan. Saya masih ingat bahwa keadaan perpustakaan yang saya lihat saat itu kurang layak dan tidak terawat. Tidak ada niat saya lagi untuk kembali berkunjung. Hingga saat saya menjadi mahasiswa di sebuah universitas negeri paling tersohor di Bali, kriteria perpustakaan universitas dan ruang baca fakultas masih saya kategorikan tidak layak. Paling parah, saya hanya mengunjungi perpustakaan universitas saat saya menjadi mahasiswa baru dan saat saya menyetorkan skripsi saya. 

Saat saya mengikuti pelatihan di Jakarta ada tiga perpustakaan yang saya kunjungi. Pertama adalah Perpustakaan Nasional, Perpustakaan Universitas Indonesia-Depok, dan Freedom Public Library-Menteng. Saya tercengang dengan keadaan tiga perpustakaan ini. Saya yakin akan betah berlama-lama menghabiskan waktu di tempat ini. Seperti di perpustakaan UI, buku-buku yang tersediaan mungkin sekitar ribuan dan dikategorikan secara tertata sesuai dengan bidang ilmu. Kesan pertama melihat perpustakaan ini adalah 'wah' dan 'sumringah'. Mahasiswa UI diberikan tempat yang sangat nyaman untuk berdiskusi dengan fasilitas yang lengkap, mereka bisa berlama-lama di tempat ini. 

Perpustakaan kedua adalah Freedom Public Library (ada di tulisan saya sebelumnya). Perpustakaan gratis dan bisa diakses oleh siapa saja dengan fasilitas nyaman. Ketiga adalah Perpustakaan Nasional, yang dimiliki oleh negara Indonesia. Kini memberi kemudahan untuk mengakses koleksi-koleksi yang ada lewat e-library. Jadi tidak usah khawatir bagi teman-teman yang sedang kuliah dan sangat butuh referensi jurnal-jurnal ilmiah, namun kampus dan universitas teman-teman memiliki akses terbatas dalam berlangganan jurnal ilmiah, bisa segera mendaftar menjadi anggota perpusnas di website www.pnri.go.id. 

Saya mengambil contoh dari tiga perpustakaan yang pernah saya kunjungi, untuk suatu saat bisa membuat sendiri perpustakaan yang dapat mengakomodir kebutuhan para pencari pengetahuan. Sejalan dengan perkembangan jaman, memang mempermudah manusia untuk dapat membaca dimana saja melalui e-book, jurnal-jurnal, maupun artikel yang tersimpan dalam sebuah tablet. Namun, bagi saya, buku-buku dan perpustakaan sebagai rumahnya harus tetap ada karena dua hal tersebut merupakan kebudayaan yang harus dilestarikan sampai kapanpun dan tidak dapat dipisahkan. 

Bagi saya, buku-buku adalah Aset dan Modal. Orangtua saya selalu berpesan kepada saya bahwa mereka tak memiliki warisan berupa tanah atau bangunan yang bisa diberikan kepada saya dan saudara-saudara saya secara utuh dan permanen, untuk membantu saya melanjutkan hidup. Namun, pengetahuan dan ilmu lah yang selalu mereka berikan kepada saya, untuk nantinya saya bisa melanjutkan hidup, dengan cara menyekolahkan saya. Bagi saya, itulah warisan yang paling kekal dan tak akan pernah habis, malah akan terus berkembang, jika kita tetap tekun dan konsisten. 

0 comments:

Post a Comment

 

I own who I am

I own who I am
An extraordinary human being. Love to capture moment and mind. I leave a trail beyond these writings for give little contribution to world until the time I back home.

Seek, Capture & Share