Hidup ini dan Bianglala

Image from: wallpaperswide.com

Ketika masih bersekolah di Kota Malang, Jawa Timur, kerap kali saat weekend aku dan teman-teman mengunjungi Alun-alun Kota Batu. Hal yang paling menyenangkan yang membuatku dan juga teman-teman tidak pernah bosan pergi ke sana adalah Bianglala. Bagiku, itu hiburan yang sangat sederhana namun penuh makna. Hanya dengan Rp3.000, aku bisa menikmati kesejukan hawa kota Batu dan melihat pemandangan indah. Sehingga, bagaimana aku bisa menolak ketika diajak naik bianglala (tentunya bianglala yang konstruksinya aman ya).

Bagiku, bianglala itu seperti siklus kehidupan. Ada saatnya berada di puncak, dan ada saatnya berada di bawah. Ketika berada di puncak semua terasa indah dilihat dan menyenangkan. Sama seperti naik bianglala, berada di puncak ada yang paling ditunggu-tunggu untuk melihat keindahan pemandangan. Namun, apabila kita berada di posisi paling bawah yang kita lihat adalah realita, kesetaraan, kesamaan keinginan untuk bisa mencapai puncak. Secara sederhana, jika kita naik bianglala kita diberi batasan waktu untuk berputar beberapa kali hingga waktu kita habis, kita melihat antrian orang-orang yang ingin juga menikmati perputaran bianglala hingga puncak dan kembali lagi ke bawah. Demikian aku menganalogikan hidup. 

Untuk sampai ke puncak bianglala, kita perlu mengantri. Semua orang ingin naik dan semua orang ingin sampai ke puncak. Pada intinya, setiap orang akan sampai ke puncak. Mengantri, aku menganalogikannya dengan kesabaran. Tidak ada jalan pintas ketika mengantri tetapi kemungkinan menyalip ketika orang di depan kita lengah atau memutuskan untuk tidak jadi naik bianglala itu sangat mungkin terjadi. Hidup juga seperti itu. Tidak semua orang sabar, dan tidak semua orang teguh pada pendiriannya untuk sampai puncak. Ketika berada di tengah jalan, ada banyak godaan yang menghampiri kita. Sekali lagi, semua orang ingin berada di puncak hidupnya, dimana inti dari segala inti adalah berbagai kemudahan dan kebebasan finansial. Itu yang aku amati selama ini. Dari hal tersebut, aku mengkategorikan ada empat tipe manusia dalam jalannya meraih puncak. Pertama, manusia yang sabar. Mengikuti arus dan fokus terhadap tujuan serta percaya pada gilirannya nanti ia mendapatkan apa yang diinginkan. 

Kedua, manusia yang melihat peluang. Tipe ini selalu melihat peluang ketika dirinya bisa melangkah lebih jauh dari orang-orang di belakang dan di depannya. Ia melihat ada yang lengah dan disana ia memanfaatkan peluang yang ada. Misalnya secara sederhana, saat mengantri bianglala orang yang berada di depan kita asyik mengobrol dan tidak menyadari kita telah ada di depannya, atau ada orang-orang yang tidak jadi naik bianglala karena malas mengantri. Cara ini masih di dalam satu garis antrian. Dapat disimpulkan bahwa ketika ingin meraih apa yang kita cita-citakan, tidak ada salahnya memanfaatkan peluang yang ada semasih itu legal dan tidak merugikan orang lain. Hidup ini memang penuh kompetisi, ketika kita lengah maka akan ada orang-orang yang lebih bekerja keras menggantikan posisi kita (misalnya dalam pekerjaan). 

Ketiga, manusia yang menginginkan jalan pintas. Bagiku, tipe ini sangat ekstrim. Biasanya tipe orang yang seperti ini akan memanfaatkan segala cara untuk secara cepat sampai ke puncak. Analoginya masih dengan antrian bianglala. Ketika tipe seperti ini berada di dalam antrian bianglala, ia kemungkinan akan nekat meloncati pembatas dan langsung berada di antrian terdepan. Jika kita kaitkan dengan apa yang sering kita dengar atau lihat lewat pemberitaan atau lingkungan sekitar kita, hal ini kerap terjadi. Misalnya seseorang yang menginginkan menduduki jabatan tertentu menggelontorkan sejumlah uang untuk menyuap pihak-pihak terkait untuk mewujudkan keinginannya. Atau, orang tua yang ingin anaknya mengenyam pendidikan di sekolah terbaik namun yang bersangkutan tidak memenuhi kualifikasi, menggunakan uang untuk memuluskan jalan anaknya. Itu beberapa contoh sederhana saja dari apa yang sering aku amati selama ini.

Keempat adalah tipe manusia yang mudah menyerah. Tipe ini cepat pasrah dan tidak kuat dalam berkompetisi. Ia lebih baik mundur dari antrian bianglala yang panjang kemudian mencari wahana yang lebih sedikit antriannya. Tipe seperti ini kadang bisa dikatakan mengikuti arus, kemana banyak orang pergi kesana, ia akan ikut, namun di tengah jalan akan berhenti dan mencari alternatif lain yang sekiranya tidak banyak yang berkompetisi di tempat itu. 

Disadari atau tidak, kita adalah gabungan dari semua tipe itu. Di dalam diri kita pasti pernah ada rasa mudah menyerah, tidak sabar atau ingin menghalalkan segala cara untuk mendapatkan apa yang kita inginkan. Sekarang tergantung dari bagaimana kita bisa mengarahkan diri untuk menjadi tipe-tipe di atas. Setiap manusia pasti punya pemikiran dan cara yang berbeda dalam menjalani hidupnya. Namun, jika kita adalah tipe yang ingin instan, tengoklah cara kerja bianglala. Berputar secara pelan, mengajak orang-orang yang menaikinya untuk menikmati pemandangan sampai kembali ke bawah lagi dengan putaran yang pelan dan tenang. Bayangkan apabila bianglala berputar sangat kencang, bukannya menikmati pemandangan indah, tetapi orang-orang yang naik bianglala akan merasa pusing, mual, lalu muntah ketika sampai bawah. Hidup kita ada tahap-tahapnya, setiap tahapan yang kita alami nikmatilah hingga kita sampai ke puncak. Lalu, ketika sampai di puncak kita juga pasti akan turun perlahan-lahan, nikmatilah sebagaimana kita menikmati tahap hingga menuju puncak. Jika kamu berada di posisi ingin menyerah atau memiliki ambisi tidak terkontrol dalam perjalananmu menuju puncak, maka ingatlah cara kerja Bianglala. 



0 comments:

Post a Comment

 

I own who I am

I own who I am
An extraordinary human being. Love to capture moment and mind. I leave a trail beyond these writings for give little contribution to world until the time I back home.

Seek, Capture & Share