Sadarkah kita bahwa istilah-istilah asing
lebih sering kita gunakan dalam kehidupan sehari-hari? Bahkan kita mulai nyaman
apabila menggunakan istilah asing dibandingkan bahasa Ibu kita sendiri. Contoh
yang sederhana, misalnya ketika teman kita atau kita bertanya, “Apa kamu udah breakfast?” atau ketika
kita sedang mengalami suatu masalah, istilah “move on” sangat sering digunakan
terutama oleh remaja jaman sekarang. Terkadang saya sering berpikir, apakah
mereka menggunakan istilah-istilah tersebut sudah mengetahui artinya. Misalnya
saja kata-kata seperti mainstream
atau worth it (kebanyakan orang masih
sering menuliskannya dengan worthed).
Saya sebagai pengguna jejaring sosial seperti twitter, seringkali membaca di lini masa (timeline) istilah-istilah ini digunakan untuk membuat status. Satu
hal lagi yang membuat saya ‘geli’, yaitu ketika film yang dibintangi oleh
Kristen Stewart dan Robert Pattinson ditayangkan di bioskop yang berjudul
Breaking Dawn menjadi salah penulisannya dimana ‘Dawn’ berubah menjadi ‘Down’. Tentu
saja dua kata tersebut memiliki arti yang berbeda. Banyak orang yang mengaku
penggemar Twilight Saga tetapi masih salah ketika menuliskan judul filmnya.
Bahkan kemudian banyak bermunculan parodi tiket bisokop, yaitu orang-orang
membuat lelucon dengan membuat sendiri tiket bioskopnya dan menuliskan judul
film tersebut. Akan lebih baik jika kita mengetahui terlebih dahulu arti dari
istilah-istilah asing tersebut, baru menggunakannya. Jangan asal gunakan agar
terkesan keren.
Kemunculan boy dan girl band di
akhir tahun 2011 dan awal 2012 yang menurut saya kebanyakan terinspirasi dari
Korea dan Jepang dimana dua negara ini merupakan gudangnya boy dan girl band di Asia dan sekarang sudah
mendunia. Kemudian saya berpikir, bukannya negara kita memiliki kebudayaan yang
beragam yang sebenarnya bisa dieksplorasi? Karena yang saya lihat bahwa
lagu-lagu yang mereka bawakan sebagian besar tidak mencerminkan Indonesia
bahkan cara berpakaian dan gaya rambut pun sangat identik dengan dua negara
tersebut. Jadi hal-hal tersebut semuanya terkesan dipaksakan. Pada akhirnya
kepopulerannya hanya berlalu begitu saja ditelan waktu dan tergantikan dengan
yang lainnya.
Analogi di atas dekat dengan apa
yang sedang terjadi pada dunia akuntansi saat ini, khususnya di Indonesia. Era
globalisasi yang membawa serta neo liberalisme dan kapitalisme merajah tanah
air kita beserta kebudayaannya. Dua paham tersebut perlahan mulai mengubah
tingkah polah kita menjadi seorang yang individualis dan mengedepankan
kepentingan pihak tertentu tanpa melihat pihak lain yang masih jauh dari
jangkauan dan sangat memerlukan perhatian. Mau tidak mau inilah yang sedang
terjadi di negara kita. Begitu pula kemudian dampaknya bagi dunia akuntansi. Kemunculan
International Financial Reporting
Standards (IFRS) yang digagas oleh International
Accounting Standard Board (IASB) yang bermarkas besar di London membuat
perubahan besar dalam standar pelaporan akuntansi. Indonesia telah menegaskan
dirinya untuk mengadopsi standar ini sejak tahun 2004, namun karena ada
permasalahan sehingga penggunaan standar ini baru dapat dilakukan pada 1
Januari 2012. Ketika mengadopsi IFRS apakah sebelumnya kita memaknai setiap
pernyataan yang ada di dalam standar tersebut dan memikirkan dampak semua pihak
yang terlibat apabila standar ini digunakan untuk laporan keuangan. Tentu saja
hal ini menjadi penting, mengingat standar ini dibangun atas dasar paham
kapital dan neo liberalis dari kaum Barat. Sedangkan kita, sadari bahwa kita
ada di dalam kebudayaan Timur yang kental dengan nilai-nilai gotong royong, toleransi
antar sesama, etika, dan ideologi yang sangat kuat. Masuknya paham Barat
beserta kebudayaannya mulai mengikis nilai-nilai yang ada pada kebudayaan
Timur. Sehingga kita dihadapkan pada dua pilihan, mau mengikuti arus modernisme
Barat atau tetap pendirian pada kebudayaan kita sendiri?
Konvergensi IFRS dan GAAP
IFRS diterbitkan sebagai upaya untuk
memperkuat arsitektur keuangan global dan mencari solusi jangka panjang
terhadap kurangnya transparansi informasi keuangan. Mulai tahun 2000-an
terdapat dua dewan penyusun standar pelaporan keuangan yang ada di dunia, yaitu
IASB (International Accounting Standard
Board) yang merupakan organisasi internasional yang bertanggung jawab atas
penerbitan IFRS, dan FASB (Financial
Accounting Standards Board) yang merupakan organisasi di Amerika Serikat
yang bertanggung jawab atas penerbitan GAAP (Generally Accepted Accounting Principles). Terdapat beberapa
kesamaan antara IFRS dan GAAP. Namun, juga terdapat perbedaan antara kedua
standar tersebut. Salah satu contoh perbedaan dua standar ini adalah sebagai
berikut: pengembangan IFRS berdasarkan pada principles-based
dan menggunakan pengukuran yang berbasis fair
value, sedangkan pengembangan GAAP dipertimbangkan dengan berdasarkan rules-based dan menggunakan pengukuran historical cost. Dengan latar belakang
sejarah dari dua dewan yang cukup panjang tersebut, maka perbedaan-perbedaan
yang terjadi diharapkan dapat diminimalkan dan pada akhirnya dihapuskan melalui
konvergensi antara kedua standar tersebut.
IASB dan FASB menyadari kebutuhan
akan standar tunggal pelaporan keuangan global yang berkualitas tinggi. Oleh
karena itu pada bulan September 2002 tercapai kesepakatan antara IASB dan FASB
untuk melakukan konvergensi antara IFRS dan GAAP yang tertuang dalam Memorandum of Understanding (MoU) yang
dikenal dengan Norwalk Agreement. Komitmen kedua dewan tersebut diperkuat di
tahun 2006 dengan menyepakati “A roadmap
for convergence 2006-2008” yang selanjutnya diperbaharui di tahun 2008
dengan mengidentifikasi serangkaian prioritas untuk menghasilkan standar
berbasis prinsip.
Pada awalnya Indonesia mengadopsi standar
yang dibuat oleh Belanda, kemudian Indonesia menggunakan standar yang dibuat
oleh Amerika yang kita kenal dengan nama General
Accepted Accounting Principles (GAAP). Pada tahun 2004, Indonesia kemudian
sepakat untuk beralih ke IFRS. Seharusnya pada tahun 2008, Indonesia sudah
harus mengkonvergensi standar dengan menggunakan IFRS, namun karena ada
beberapa hal sehingga Dewan Standar Akuntansi Keuangan kemudian sepakat untuk
melakukan konfergensi pada 1 Januari 2012. Kegagalan pengaplikasian standar ini
mengakibatkan Indonesia harus menghadapi tingginya tingkat suku bunga yang
ditetapkan oleh World Bank. Hal ini berpengaruh terhadap kegiatan investasi,
dimana menurut World Bank investasi di Indonesia sangat berisiko karena
penyajian laporan keuangan masih menggunakan standar akuntansi non IFRS.
Indonesia sendiri memilih untuk melakukan
adopsi, namun bukan adopsi penuh terhadap standar ini, karena alasan adanya
regulasi yang berbeda serta perbedaan sifat bisnis. Perubahan ke standar yang
baru ini dirasakan sangat berat karena yang awalnya Indonesia terbiasa dengan rules based, kini diharuskan memahami principle based, seperti apa yang
menjadi garis besar dari IFRS tersebut. Kini, Standar Akuntansi Keuangan yang
diterbitkan oleh Ikatan Akuntan Indonesia dalam edisi IFRS telah terbit. Namun
terbitnya sebuah standar dalam sebuah buku setebal novel Harry Potter, bahkan
mungkin lebih tebal standar akuntansi keuangan tersebut belum menjamin entitas
dapat menjalankan apa yang diatur dalam standar. Butuh penyesuaian dan
pemahaman yang sangat baik dan detail agar tak terjadi salah tafsir.
Apabila kita mengingat kembali, bahwa
Indonesia tergabung dalam negara-negara G-20 bahkan sepakat untuk meningkatkan
transparansi dan akuntabilitas dalam pelaporan keuangan, yaitu dengan
konvergensi IFRS. Timbul pertanyaan di benak saya, apakah ini yang benar-benar
dibutuhkan Indonesia atau hanya tidak mau kalah saing dengan negara-negara
tetangga seperti Malaysia dan Singapura yang sudah lebih dahulu mengaplikasikan
standar asal Prince William ini?
Sebuah Refleksi Idealisme Kebudayaan
Timur dalam Modernisme Barat pada film The Last Samurai
Jika saya ditanya atau pun diberikan
mosi debat mengenai pengaplikasian IFRS di Indonesia, saya akan menjawab setuju
terhadap pengaplikasian standar ini. Karena beberapa hal positif yang dapat
kita peroleh, misalnya perusahaan-perusahaan terbuka lebih berkesempatan besar
untuk terdaftar di bursa efek Internasional dan mempelajari hal baru yaitu principle based dalam penggunaan
standar. Walaupun terasa berat memang beradaptasi dengan basis yang berbeda,
namun saya rasa dengan adanya perubahan ini dapat mempengaruhi pola pikir,
dimana kita tidak monoton dalam memahami standar dimana dulunya menggunakan rule based.
Dibalik ‘setuju’ saya ada kata
‘tapi’ dibaliknya. Kita perlu teliti dalam menyikapi kemunculan standar ini,
apalagi standar ini berasal dari negara yang pahamnya berbeda dengan paham
negara kita. Saya berpendapat bahwa ini merupakan godaan bagi bangsa kita. Apabila kita tidak kuat dalam prinsip dan
mempertahankan ideologi bangsa kita, akan membuat kita terbawa arus dalam paham
negara-negara Barat. Untuk hal seperti ini, menjadi bangsa yang idealis itu sangat
penting.
Ketika saya menonton film The Last
Samurai, saya banyak mengambil pelajaran dari film tersebut. The Last Samurai
menceritakan tentang bagaimana kaum Samurai di Jepang mempertahankan kebudayaan
warisan leluhur mereka di tengah gempuran modernisme Amerika. Saat Kaisar
mereka tergila-gila dengan dunia Barat, mulai dari mengubah cara berpakaian
hingga persenjataan tentara masih ada sebagian kecil masyarakatnya yang
mempertahankan identitas budaya Timur. Samurai bagi masyarakat tersebut berarti
melayani, dan saya rasa hal tersebut telah menjadi sebuah ideologi bagi negara
mereka. Kesetiaan, pengorbanan, dan pengabdian bagi warisan leluhur dan negara
merupakan beberapa hal yang dapat dipetik dari film yang dibintangi dan
diproduseri sekaligus oleh Tom Cruise.
The Last Samurai menceritakan seorang
mantan tentara Amerika yang bernama Nathan Algren diminta untuk menjadi
penasihat militer dan melatih tentara Jepang menggunakan senjata atas perintah
dari Kaisar. Pada pertempuran pertama, Algren terkepung sendiri di antara para
Samurai. Katsumoto, yang merupakan pimpinan dari Samurai tersebut kemudian
membawa Algren ke desa kecil tempat dimana Katsumoto dan kawan-kawannya masih
mempertahankan budaya mereka. Saat berada di desa tersebut, Algren belajar banyak
hal dari apa yang dilihatnya. Ia merasa menemukan sebuah kehidupan yang baru
dan secara perlahan mengikuti gaya hidup Samurai yang disiplin dan taat pada
budaya yang diwariskan oleh leluhur mereka.
Belajar dari film The Last Samurai,
saya melihat ada sebuah idealisme Ketimuran yang masih dimiliki oleh mereka
yang mendedikasikan dirinya sebagai seorang Samurai. Bahkan Nathan Algren yang
pensiunan tentara perang dan notabene adalah seorang Amerika, tertegun dengan
budaya Timur dan pada akhirnya memihak kepada mereka. Bahwa dari sana, di
tengah gempuran modernisme Barat masih ada orang-orang yang mempertahankan cara
berpakaian mereka sebagaimana asalnya, di saat Kaisar memerintahkan untuk
menggunakan senjata dan meriam yang pada jaman itu begitu canggihnya, kaum
Samurai masih mempertahankan pedang mereka dengan cara berperang yang
tradisional. Sama halnya ketika para pejuang Indonesia pada jaman penjajahan
Belanda, mereka masih menggunakan bambu runcing untuk melawan tentara Belanda
yang saat itu sudah dilengkapi dengan persenjataan yang canggih. Tekad dan
semangat yang begitu besar lah yang mampu menguatkan mereka untuk melakukan
perlawanan. Hingga pada akhirnya ketika yang tersisa hanya Algren sebagai
Samurai terakhir, pihak lawan pun tersadar bahwa yang dilawan adalah saudaranya
sendiri, dan menghentikan penyerangan.
Sebenarnya banyak hal yang dapat
diambil untuk dijadikan pelajaran dari film The Last Samurai tersebut. Namun,
yang paling menarik perhatian saya adalah idealisme yang dimiliki oleh kaum Samurai
untuk tidak mendukung modernisme Barat yang dalam film tersebut bangsa Barat
adalah Amerika. Saya mencoba mengaitkan dan siapa tahu kita dapat belajar dari
film ini, tentang apa yang sedang terjadi di dunia akuntansi saat ini,
khususnya di Indonesia yaitu masuknya IFRS sebagai suatu standar pelaporan
keuangan yang mengedepankan principle
based dan fair value.
Banyak yang berpendapat bahwa penentuan standar
internasional ini adalah sebagai taktik KAP-KAP besar yang menyediakan jasa
akuntansi internasional untuk memperluas pasarnya. Bagi perusahaan akan
mengalami peningkatan tekanan sosial, ekonomi, dan politik untuk memenuhi
standar internasional tersebut, dan harus mengeluarkan biaya yang besar.
Beberapa berpendapat bahwa pasar modal internasional telah berkembang dengan
baik tanpa adanya standar akuntansi internasional. Bagaimana dengan Indonesia?
Indonesia sendiri tetap menjalankan konvergensi IFRS yang baru bisa dimulai 1
Januari 2012. Namun banyak pihak yang masih kerepotan dalam pengaplikasiannya.
Semua itu memang butuh proses dan proses itu tidak 1 atau 2 tahun untuk
dikatakan berhasil. Butuh waktu minimal 10 tahun untuk dapat mengetahui apakah
standar tersebut sesuai untuk dijadikan acuan pelaporan keuangan.
Indonesia dan IFRS
Kita memang sudah digariskan untuk
terlahir sebagai bangsa yang memiliki ideologi Pancasila. Dimana dalam
Pancasila terkandung nilai demokrasi, musyawarah dan mufakat, gotong-royong dan
nilai Ketuhanan, yang tidak dimiliki oleh bangsa Barat yang cenderung menganut
paham kapitalis dan liberalisme. Sekarang, paham tersebut masuk ke ranah negara
kita, perlahan mulai menggoncang iman serta ideologi bangsa kita sendiri.
Sebagai contoh, PSAK yang mengatur mengenai Koperasi (PSAK No. 27: Akuntansi Perkoperasian), ketika
dikonvergensi ke IFRS, Koperasi tidak termasuk dalam pernyataan standar
akuntansi. Padahal yang kita tahu Koperasi merupakan soko guru perekonomian
Indonesia. Di balik guncangan krisis yang melanda perusahaan-perusahaan besar
dan go public, Koperasi menopang
banyak usaha kecil yang tetap bertahan di antara goncangan tersebut. Adanya
Koperasi ini merupakan ciri khas dari bangsa Indonesia, cerminan dari semangat
gotong royong. Ini merupakan salah satu idealisme budaya Timur yang seharusnya
ditonjolkan oleh Indonesia di mata dunia. Mengapa Koperasi tidak termasuk dalam
salah satu pernyataan dalam standar hasil konvergensi IFRS? Mungkinkah ada
kepentingan khusus dari pihak-pihak tertentu?
Kita semua menyadari bahwa kekayaan
alam bangsa Indonesia ini melimpah ruah, bahkan negara kita sempat mendapat
julukan sebagai Macan Asia. Indonesia adalah negara kepulauan, dan dikelilingi
oleh lautan. Otomatis menjadikan Indonesia kaya dalam sektor perikanan dan
kelautan. Tidak hanya kekayaan dari sektor kelautan, potensi kehutanan menjadi
sektor yang sangat strategis untuk menjadi sumber devisa negara. Bahkan sektor
perkebunan pun menjadi sektor yang sangat menjanjikan. Dengan demikian
diperlukan perlakukan akuntansi bagi setiap sektor tersebut. Namun yang terjadi
saat ini adalah, standar hasil konvergensi IFRS menggabungkan ketiga sektor ini
dalam hal perlakuan akuntansi serta penyajian laporan keuangannya. Tentu saja
ketiga sektor ini merupakan hal yang berbeda yang memerlukan perlakuan yang
berbeda juga. Bila saya lihat masuknya tiga sektor ini dalam IFRS agak
dipaksakan. Kita semua tahu bahwa negara seperti Inggris tidak unggul dalam
ketiga sektor ini. Sehingga sangat tidak tepat apabila ketiga bidang yang
berbeda ini digabungkan menjadi satu interpretasi standar. Padahal di PSAK
sebelum IFRS ini telah dijabarkan secara terpisah mengenai sektor-sektor ini.
Indonesia seharusnya lebih idealis dalam memperjuangkan hal ini. Sangat
terlihat sekali bahwa standar ini masih didominasi oleh pihak-pihak tertentu
yang menginginkan tujuan khusus dari terbentuknya standar internasional ini.
Indonesia pun masih kurang berani untuk menunjukkan ketidaksetujuannya apabila
ada standar yang masih kurang tepat bila diterapkan di Indonesia. Jadi, sampai
kapan kita berdiam diri?
Penutup
Gempuran dari Barat akan terus
menyerang bangsa kita dan mereka akan terus mencoba untuk merasuki dan
melemahkan ideologi yang dimiliki bangsa kita. Dari konvergensi IFRS ini kita
harus belajar lebih banyak, dimana mengambil hal positif dari adanya
konvergensi ini dan tetap mempertahankan hal-hal yang menjadi ciri khas bangsa
kita. Godaan yang diberikan IFRS harus membuat kita menjadi lebih kuat dan
idealis dalam mempertahankan budaya Timur. Kenapa tidak belajar dari film The
Last Samurai tentang disiplin dan idealisme mereka untuk tetap mempertahankan
budaya Timur, bahkan Kapten Algren yang berkebangsaan Amerika menjadi berpihak
pada Jepang yang negara asal Samurai tersebut. Berarti, Algren secara tidak
langsung telah ‘diracuni’ oleh budaya Timur. Dari hal sederhana namun bermakna
dalam film tersebut, kita seharusnya bisa menggiring lebih banyak ‘Algren’
untuk berada di pihak kita dan mendukung idealisme yang kita miliki. Karena
kita adalah bangsa yang berhak untuk dilihat dunia.
0 comments:
Post a Comment