Sore ini langit tampak cerah dan akan baik-baik saja sepertinya. Berencana pergi ke Malang Town Square untuk membeli makan dan buah-buahan, tetapi entah mengapa laju motor menuju ke depot Chinese food dekat kos. Akhirnya, aku memulai soreku di depot kecil itu. Tiba-tiba hujan lebat. Aku bersama lima orang lainnya dengan kesibukan masing-masing karena kesendirian. Ada sepasang siswa siswi SMA, yang tampaknya baru pulang sekolah menikmati nasi goreng mereka sambil menonton kartun di laptop. Seorang Ibu dengan jaket Arema, menyantap makan malamnya yang aku tidak tahu entah apa itu. Seorang Mbak yang menunggu pesanannya sambil sesekali menatap (agak heran) ke arahku. Seorang Bapak penjual bakso yang berteduh sambil membaca koran, entah bakso jualannya sudah habis apa belum. Dan ada Aku, aku yang sibuk (mencari kesibukan, tepatnya) dengan handphone kemudian mengetik di aplikasi notes tentang apa yang aku lakukan saat itu (kini aku tuangkan ke dalam blog ini). Aku sendirian. Bukanlah hal yang baru selama aku tinggal di rantauan ini. Aku mungkin dikatakan telah terbiasa ketika makan di rumah makan tidak ditemani. Ya, bukannya karena aku penyendiri, tetapi memang tak ada teman yang dapat aku ajak saat ini. Hmm... mungkin aku terbilang "picky" dalam urusan teman mengobrol. Tetapi terlalu sering berpergian sendiri itu lama-lama tidak enak juga ya. Aku baru sadar akhir-akhir ini memang. Tak bebas tertawa, tak bebas apabila berkomentar mengenai hal-hal yang dilihat tak lazim, tak bisa curhat dan lainnya. Tampaknya, dalam urusan ini, Aristoteles dengan Zoon Politicon-nya tepat menggambarkan manusia sebagai mahluk sosial, tak bisa hidup sendiri, dan merupakan kodratnya untuk berelasi dengan manusia lainnya. Sering berpergian sendiri juga banyak bahayanya. Misalnya aku, seorang wanita sangat rentan apabila 'digoda' oleh laki-laki iseng yang kadang-kadang suka dengan sengaja nabrakin dirinya ke arah kita lalu minta maaf kalau itu gak sengaja, kemudian tertawa-tawa bahagia bersama teman-temannya. Laki-laki seperti itu adalah yang gak berani kalau menggoda wanita sendirian. Laki-laki kemudian juga disebut mahluk sosial. Naik motor sendiri, kemudian di jalan tiba-tiba ada dua orang laki-laki bermotor yang pasang lampu sen ke arah kanan kemudian mereka ternyata ke kiri dan itu di depan kita, merupakan sebuah keisengan yang sangat membahayakan nyawa seorang wanita. Sekali lagi, laki-laki juga mahluk sosial. Aku tidak akan banyak membahas tentang laki-laki sih, itu tadi hanya beberapa pengalamanku yang aku kaitkan dengan teori Aristoteles dan keadaanku yang saat ini sendirian, ditinggal teman rantauan dan adik kos sebelah.
Maka ketika aku menulis blog ini, hari sudah malam. Kosan sungguh sepi dari seminggu yang lalu, ketika aku baru pulang dari kampung halaman. Aku tidak merasa seram, tetapi merasa hampa sesungguhnya. Yah, bisa dikatakan homesick. Biasanya aku pergi makan bersama seorang teman, kali ini sendirian lalu 'take away' saja. Kalau istilah orang sini 'isin' (isin-malu) kalau makan sendirian di tempat makan. Tapi aku kadang nekat aja, toh bukan cuma aku aja kok yang makan sendiri, masih banyak juga walaupun yang makan sendirian di meja food court mal misalnya, sering diserang segerombolan keluarga atau genk anak muda yang gak dapet tempat dan terpaksa nimbrung dengan 'single fighter' di food court. Jadilah kalau itu terjadi padaku (dulu-dulu sering) aku yang mengalah. Aku melawan sepi dengan laptopku (tesis dan mulai nge blog lagi), buku-buku bacaan ringan (yang aku masih banyak ngutang baca), menonton film, atau kalau-kalau ada temanku yang main ke kos atau ngajak pergi.
Nasi Capcay, teman di sore ini
Ketika hujan, sendiri memang rentan menimbulkan inspirasi. Apalagi malam ini adalah malam Siwaratri, yang bagi umat Hindu seperti aku adalah malam untuk merenungkan apa yang telah kita perbuat selama ini dan mencoba memperbaikinya untuk kedepannya. Sebelum-sebelumnya makna Siwaratri yang aku dengar dari lingkungan sekitarku adalah Malam Peleburan Dosa, tetapi baru-baru ini aku membaca sebuah artikel di website bahwa makna malam Siwaratri itu adalah kita terjaga, dan merenung mengenai perbuatan-perbuatan kita selama ini. Sebenarnya menurut ajaran Hindu, dalam melaksanakan Siwaratri disarankan untuk melakukan puasa bicara, puasa makan dan minum, dan tidak tidur semalaman hingga esok paginya. Hanya saja, aku belum merasa siap untuk melakukan dua puasa tersebut, jika berjaga semalaman kemungkinan aku bisa. Teman-teman di Bali mungkin sangat bahagia bisa merayakan Siwaratri ini bersama keluarganya atau teman-teman lainnya. Tahun ini, mungkin aku harus melaluinya sendiri. Tapi tak apa, ini merupakan bagian dari tanggung jawabku kepada orang tua, menyelesaikan kuliah S2 agar tepat waktu.
Malam ini ditutup dengan pepaya dan pisang
Banyak sekali yang aku tulis dan mungkin tidak terstruktur. Tapi itulah yang ada di pikiranku malam ini, mengalir begitu saja layaknya hujan yang turun dari langit kemudian membasahi dedaunan.
0 comments:
Post a Comment