Image from: http://stormwater.wef.org/wp-content/uploads/2013/07/105705811.jpg |
Macet,
sumpek, dan polusi. Tiga kata itu
yang mungkin mewakili keadaan kota-kota besar di Indonesia yang semakin hari
semakin padat akibat bertambahnya jumlah kendaraan, baik itu roda empat atau
roda dua. Kemacetan timbul akibat jumlah kendaraan yang meningkat tiap
tahunnya. Bayangkan saja apabila suatu keluarga terdiri dari empat orang,
masing-masing orang memiliki satu sepeda motor dan sebuah mobil, atau bahkan
dua buah mobil. Kemudian semua anggota keluarga beraktivitas menggunakan
kendaraan masing-masing. Hal yang sama terjadi pada keluarga lain, yang mungkin
anggota keluarganya lebih banyak jumlahnya. Sudah dapat dipastikan jalanan akan
setiap hari macet. Bahan bakar minyak akan lebih banyak dihabiskan karena
macet. Efisiensi energi tak tercapai dan alhasil, polusi pun merajalela.
Pertumbuhan
jumlah kendaraan bermotor tidak sejalan dengan bertambahnya ruas-ruas jalan tol
atau by pass. Sangat ironis apabila
melihat kenyataan bahwa setiap tahun jumlah kendaraan bertambah namun
infrastruktur yang tersedia tidak mengalami perubahan. Apabila hal ini terus
dibiarkan, maka solusi kemacetan tidak akan pernah mencapai titik temu. Melihat
keadaan seperti ini, maka pemerintah membuka diri dengan bekerja sama dengan
pihak swasta untuk mewujudkan pembangunan infrastruktur. Salah satu upaya
pemerintah adalah dengan Public-Private
Partnership dimana modal datang dari pihak swasta, pinjaman perbankan atau
pasar modal domestik, dan dari luar negeri. Dalam kerjasama ini terdapat
penyatuan aset yang dimiliki oleh pemerintah dan investor swasta. Dapat
dikatakan juga bahwa dengan kerjasama ini, pihak swasta diberikan hak untuk
melakukan pembangunan dan pengelolaan aset milik pemerintah, dimana pihak
swasta menerima penghasilan melalui pengelolaan tersebut, namun hak milik dari
lahan/tanah tersebut tetap berada di tangan pemerintah.
Terdapat
tiga alasan mengapa pemerintah melakukan Public-Private
Partnership, yaitu[1]:
1. Alasan
politis, yaitu ingin menciptakan pemerintahan yang demokratis (egalitarian governance) serta mendorong
terwujudnya good governance dan good society.
2. Alasan
administratif, adanya keterbatasan sumber daya pemerintah (government resources), baik dalam hal anggaran, sumber daya
manusia, aset, maupun kemampuan manajemen.
3. Alasan
ekonomis, yaitu pemerintah melalui kerjasama dengan pihak swasta ini berusaha
untuk mengurangi kesenjangan (disparity)
atau ketimpangan (inequity), memacu
pertumbuhan (growth) dan
produktivitas, meningkatkan kualitas dan kontinuitas (quality and continuity), serta mengurangi risiko.
Kondisi Infrastruktur di Indonesia
Apabila
dibandingkan dengan negara-negara berkembang lainnya, sektor infrastruktur di
Indonesia dalam hal pelayanan dan jumlah masih sangat rendah, sebagai contoh,
air minum hanya mencakup 39% dari jumlah penduduk yang tinggal di perkotaan,
tingkat kepadatan jalan yang mencapai 1,6 km per 1000 penduduk, dan konsumsi
tenaga listrik sebanyak 319 kwh/kapita dengan 45% dari jumlah rumah tangga
masih belum mendapatkan sambungan listrik. Dapat dibayangkan betapa tidak
nyamannya penduduk dengan keadaan infrastruktur seperti ini, yang notabene
adalah hak dari penduduk Indonesia untuk mendapatkan pelayanan infrastruktur
yang baik.
Dengan
melihat fakta-fakta di atas, peran investor swasta dalam sektor infrastruktur
sangat dibutuhkan, sehingga pendanaan atau investasi untuk pembangunan
infrastruktur dapat terpenuhi melalui kerjasama dengan pemerintah. Terdapat
beberapa keuntungan yang diperoleh melalui Public-Private
Partnership ini apabila dilakukan, yaitu:
1.
Tercukupinya
kebutuhan pendanaan yang berkelanjutan yang menjadi masalah utama pemerintah
dalam membangun infrastruktur;
2. Meningkatkan
kuantitas, kualitas, dan efisiensi pelayanan melalui persaingan yang sehat;
3.
Meningkatkan
kualitas pengelolaan dan pemeliharaan infrastruktur;
4.
Mendorong
prinsip “pakai-bayar”, dan dalam hal tertentu dipertimbangkan kemampuan
membayar dari si pemakai.
Proses
lelang atau tender merupakan sebuah cara yang efektif untuk menentukan
kerjasama antara pemerintah dan swasta. Proses diawali dengan pengumuman yang
tersebar di seluruh surat kabar nasional untuk seluruh kalangan. Bagi
perusahaan yang telah lama menjadi rekanan pemerintah seringkali diuntungkan
dalam penerimaan informasi yang lebih banyak, daripada mereka yang baru. Hal
ini sering menimbulkan permasalahan di dalam proses tender atau lelang
tersebut. Sebagai jalan keluar, panitia lelang atau tender harus mampu
menyediakan informasi yang lebih lengkap dan merata kepada peserta lelang atau
tender, agar mencegah terjadinya tindakan persekongkolan dan monopoli dalam
pemenangan tender. Panitia harus diisi oleh sumber daya manusia yang independen
dan terbuka dalam hal informasi.
Praktik
monopoli seringkali dapat terjadi dalam proses lelang atau tender.
Undang-Undang Anti Monopoli Nomor 5 Tahun 1999, pasal 1 ayat (1), memberi arti
kepada monopolis sebagai suatu penguasaan atas produksi dan atau pemasaran
barang dan jasa atas penggunaan jasa tertentu oleh satu pelaku usaha atau
kelompok pelaku usaha. Praktik monopoli itu sendiri adalah suatu pemusatan
kekuatan ekononomi oleh salah satu atau lebih pelaku yang mengakibatkan
dikuasainya produksi dan atau pemasaran atas barang dan atau jasa tertentu
sehingga menimbulkan suatu persaingan usaha secara tidak sehat dan dapat
merugikan kepentingan umum. Oleh karena itu, untuk mencegah terjadinya praktik
monopoli dalam Public-Private Partnership
dalam pembangunan infrastruktur, terdapat beberapa langkah-langkah yang dapat
diterapkan dalam membangun kotrak kerjasama antara pemerintah dan swasta[2]:
1. Struktur
kontrak yang memungkinkan terciptanya persaingan dengan menyediakan alternative
penyedia layanan atau jasa sehingga dapat mengurangi posisi tawar dari pemegang
kerjasama;
2.
Menghindari
penggunaan kriteria tender yang dapat diubah, seperti penetapan tarif atau
subjek yang dapat dimanipulasi seperti halnya technical proposal;
3. Adanya
performance bonds dalam kontrak
sehingga pemegang kerjasama yang gagal menjalankan kewajibannya akan memberikan
ganti rugi;
4. Hak
dari pemerintah sebagai pemberi konsesi untuk mengambil alih operasional dari
pemegang konsesi apabila tidak dapat menjalankan pelayanannya sesuai dengan
standar yang telah ditetapkan dalam kontrak; dan
5. Membebankan
pada pemegang konsesi kewajiban untuk meneruskan menyediakan pelayanan sampai
pemegang konsesi yang baru telah ditunjuk.
Peranan Infrastruktur
Infrastruktur
dan pertumbuhan ekononomi memiliki hubungan yang sangat erat. Hal ini diyakini
dengan ketersediaan infrastruktur akan mampu menggerakan sektor riil, menyerap
tenaga kerja, meningkatkan konsumsi masyarakat pemerintah, serta mampu memacu
kegiatan produksi. Sebuah model makroekonometri yang dikembangkan oleh LPEM UI
pada tahun 2004, menunjukkan keterkaitan yang siginifikan antara pertumbuhan
ekonomi dengan berbagai macam infrastruktur yaitu listrik, jalan,
telekomunikasi, pelabuhan, irigasi, dan air minum. Berdasarkan model tersebut,
sebagai contoh, apabila secara nasional stok irigasi dinaikkan sebesar 10%,
maka pertumbuhan ekonomi akan meningkat sebesar 1,26%.
Peran Komisi Pengawas Persaingan Usaha
dalam Public-Private Partnership
Komisi
Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) merupakan lembaga yang dibentuk berdasarkan
amanah Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan
Persaingan Usaha Tidak Sehat yang memiliki tugas dan kewenangan untuk
menyelenggarakan pengawasan persaingan usaha di Indonesia. Secara garis besar,
Pasal 35 UU No. 5 Tahun 1999 menyebutkan tugas Komisi yang meliputi[3]:
1. Melakukan
penilaian terhadap perjanjian, kegiatan/tindakan pelaku usaha, dan atau
penyalahgunaan posisi dominan yang dapat mengakibatkan terjadinya praktek
monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat;
2.
Mengambil
tindakan sesuai dengan wewenang Komisi;
3. Memberikan
saran dan pertimbangan terhadap kebijakan Pemerintah yang berkaitan dengan
praktek monopoli dan persaingan usaha tidak sehat;
4.
Menyusun
pedoman dan atau publikasi yang berkaitan dengan Undang-Undang ini; dan
5.
Memberikan
laporan secara berkala atas hasil kerja Komisi kepada Presiden dan Dewan
Perwakilan Rakyat.
KPPU
dalam hal kerjasama pemerintah dengan swasta, harus terlibat sejak proses
perancangan kontrak kerjasama antar kedua belah pihak terjadi. Keterlibatan
tersebut dalam bentuk pemberian saran dan advokasi sejak proses penyusunan
hingga penetapan pemegang konsesi. KPPU dapat membantu pemerintah dalam
menyusun peta kerjasama sektor yang akan dijadikan sebagai Public-Private Partnership, hingga proses perancangan perjanjian
konsesi untuk memaksimalkan dampak persaingan pada saat konsesi tersebut dilaksanakan
dan meminimalkan peluang terjadinya kolusi.
Tarif
merupakan hal yang sangat sensitif dalam keterkaitannya dengan infrastruktur.
Penentuan tarif tidak bisa ditentukan secara sepihak karena nantinya akan
merugikan konsumen. Oleh karena itu, KPPU dalam proses pembentukan peraturan
tentang kerjasama pemerintah dan swasta ini dapat memberikan saran dalam bentuk
pengaturan tarif, dimana kewenangan untuk penetapan tarif tetap ada di tangan
pemerintah atau dapat melibatkan pemerintah dalam merumuskannya.
Untuk
menghindari terciptanya dominasi terhadap konsumen, dimana konsumen
tereksploitasi karena tidak ada hak pilih atas produk, serta entry barrier, dimana perusahaan lain
tidak dapat masuk ke dalam bidang usaha perusahaan monopoli tersebut, maka
jangka waktu pemberian konsesi harus jelas dan mempertimbangkan insentif yang
proporsional bagi pihak pelaku kerjasama, apabila jangka waktu konsesi terlalu
singkat akan mempersulit pihak swasta yang ingin ikut serta. Terkait dengan
penegakkan hukum, peran KPPU dalam hal ini adalah mengawasi kemungkinan
terjadinya kolusi pada saat proses lelang atau tender dan pelanggaran hukum
persaingan usaha oleh pemenang tender.
Upaya
KPPU menjamin agar setiap orang yang berusaha di Indonesia berada dalam situasi
persaingan yang sehat dan wajar adalah untuk mencegah terjadinya penyalahgunaan
posisi dominan oleh pelaku ekonomi tertentu. Apabila kesempatan berusaha
bersifat kompetitif akan memberikan kesempatan bagi konsumen untuk mendapatkan
pilihan produk yang tidak terbatas, yang menjadi hak mereka. Berjalannya
kehidupan ekonomi yang menjamin keseimbangan antara kepentingan pelaku usaha
dan kepentingan umum yang dalam hal ini pengembangan infrastruktur, pada
akhirnya akan meningkatkan kesejahteraan masyarakat.
Referensi:
Anonim. 2006. “Diskusi Terbatas: Pembangunan dan Pembiayaan Infrastruktur di
Indonesia.” http://www.docstoc.com/docs/82921455/FORUM-75ppt---Yimg. 19 Mei
2012.
Danendra, A.A.G. 2010. “Kerjasama Pemerintah dan Swasta pada Sektor
Infrastruktur”, Komisi Pengawas Persaingan Usaha.
http://www.kppu.go.id/id/2010/07/28/kerjasama-pemerintah-dan-swasta-pada-sektor-infrastruktur/.
16 Mei 2012.
Rencana Strategis KKPU. http://www.kppu.go.id/id/wp-content/uploads/2011/10/RENSTRA-KPPU-2010-2014.pdf.
20 Mei 2012.
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 5
Tahun 1999 Tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat.
0 comments:
Post a Comment